Death of a Salesman: Konflik Keluarga dalam Ilusi Modernisme

Death of a Salesman: Konflik Keluarga dalam Ilusi Modernisme

Death of a Salesman bisa jadi refleksi yang baik untuk melihat kembali problem dan konflik keluarga di Indonesia. Lakon Death of a Salesman adalah salah satu karya Arthur Miller yang sangat familiar dan terus-menerus dipanggungkan setelah pementasan perdananya pada 10 Febuari 1949 di Morosco Theatre, New York City.

Karya ini memenangkan Pulitzer Prize untuk Drama dan Tony Award untuk Best Play, pada tahun pertama ia dipentaskan. Sampai dengan 18 November 1950, pertunjukan yang pertama kali diproduksi oleh produser ternama Kermit Bloomgarden dan Walter Fried ini melalui 742 penampilan. Selanjutnya, naskah ini dipentaskan ulang sebanyak empat kali di broadway, masing-masing tahun 1975, 1984, 1999, dan 2012. Pertunjukan ini juga menjadi salah satu yang diberi perhatian oleh para kritikus seni pertunjukan dari pementasan ke pementasan. Ia disebut-sebut sebagai salah satu mahakarya teater modern Amerika.

Di Amerika, naskah ini dianggap mampu merepresentasikan dengan baik problem keluarga dan konteks sosial historis Amerika pada masa-masa awal naskah ini diciptakan dan dipanggungkan. Ulasan ini ingin menggali bagaimana naskah ini menampilkan irisan-irisan antara situasi dan problem dalam keluarga, termasuk peran dan status para anggota keluarga, dengan konteks sosial-ekonomi-politik masyarakat/negara? Apakah karya ini penting dan relevan dibaca serta dipanggungkan saat ini di Indonesia?

Konteks Sosial Death of a Salesman

Pembacaan-pembacaan awal terhadap Death of a Salesman berkutat pada beberapa tema semisal analisis konteks sosial naskah ini dengan jargon American Dream (Mimpi Amerika) yang terus-menerus digaung-gaungkan di negeri Paman Sam itu segera setelah dicetuskan pertama kali oleh James Truslow Adams dalam bukunya Epic of America (1931). Lebih jauh sebelumnya, esay Bejamin Franklin tahun 1775 berjudul The Way to Wealth menarik kelas-kelas pekerja umumnya untuk menanamkan dalam kepala mereka ide-ide mengenai kemajuan, kesejahteraan, kompetisi, kekayaan, pemujaan terhadap ekonomi kebebasan, dan kebahagiaan, merujuk pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika.

Pada masa-masa selanjutnya, slogan American Dream terus menerus dipakai oleh pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi kapitalis yang berlangsung hingga saat ini. Seruan ini secara masif beredar dalam reklame-reklame, produk-produk budaya massa yang ramai dikonsumsi, hingga khotbah-khotbah bernuansa etika protestanisme di gereja-gereja.

Mimpi Amerika tidak serta merta membawa kesejahteraan pada rakyat banyak. Malahan, mimpi ini kerap berubah menjadi sebentuk kesadaran palsu yang menghadirkan ilusi akan realitas bagi para kelas pekerja (dalam versi mutakhir mimpi kelas-kelas pekerja itu bertransformasi secara lintas bangsa sebagai efek dari politik ekonomi pasar bebas dan globalisasi paham-paham modern).

Kesadaran palsu ini menjadi bahan bakar tak kasat mata yang menggerakkan tubuh-tubuh kelas pekerja untuk bekerja demi kesejahteraan kaum kapitalis. Seperti halnya Willy Loman, tokoh sentral dalam cerita ini yang menghabiskan lebih dari sebagian hidupnya sebagai seorang pedagang keliling (salesman). Secara lebih personal-biografis, situasi ini pun berkaitan dengan depresi ekonomi di Amerika Serikat, yang turut dialami keluarga Arthur Miller dalam rentang tahun 1930-an.

Beberapa pembacaan lain terhadap Death of a Salesman terbentang antara tema-tema psikologis yang mengaitkan halusinasi Willy Loman dengan konsep-konsep psikoanalisis; paradoks antara kehidupan manusia dengan teknologi khususnya di bidang industri yang pesat berkembang dan mengalienasi manusia dari basis kerja dan hidupnya; sebuah supresi dari masyarakat modern yang menekan pertumbuhan individu demi perkembangan kolektif yang sarat ketimpangan kelas; hingga tragedi bunuh diri yang dilakukan oleh seorang psikopat yang merasa begitu hina karena dirinya tidak disukai di lingkungan kerja yang menjadi satu-satu alasan bagi dirinya untuk merasa berguna dan bermakna.

Yang mungkin jarang dilihat dalam Death of a Salesman adalah kisah cinta antara ayah dan anak. Cinta mereka adalah cinta manusia yang tidak sempurna, penuh dengan proyeksi harapan masing-masing, juga satu terhadap yang lain. Harapan-harapan ayah-anak itu hadir di antara harapan masyarakat modern Amerika: yang realistis di salah satu kutub dan yang mitologis di kutub yang lain. Di antara kelindan itu, ada satu tokoh yang kerap dilupakan, Linda Loman, istri si pedagang keliling, yang sepintas akan dibahas juga dalam tulisan ini.

Tragedi Keluarga Modern

Death of a Salesman adalah sebuah tragedi keluarga kelas menengah di Amerika. Willy Loman seorang pedagang keliling mendapati dirinya yang sudah tua hidup dalam keadaan miskin dan sangat terpuruk. Dalam serba kesusahan itu ia terus dihantui oleh mimpi-mimpinya di usia muda tentang kesejahteraan, kemakmuran, dan kesuksesan yang ia yakini akan ia gapai. Willy tua hidup dalam imajinasi yang ia bangun sejak dahulu.

Di masa-masa terpuruknya itu, ia beberapa kali berhalusinasi bertemu Ben, saudara sepupu yang pernah mengajaknya pergi berpetualang mencari kekayaan di luar Amerika. Ia berada dalam suatu realitas paradoksal, menyesali keputusannya untuk tinggal (hingga saat ini ketika ia hidup dengan sangat terpuruk) sekaligus meyakinkan dirinya bahwa ia telah membuat keputusan yang benar (ketika ia berhalusinasi bertemu Ben di masa lalu).

Kekeliruan lain dari Willy Loman adalah ia menyuplai kesadaran palsu akan kemakmuran, kekayaan, dan kebahagiaan kepada Biff Loman anak sulungnya. Sejak kecil Biff hidup dalam keyakinan bahwa dia adalah orang yang gagah dan telah ditakdirkan untuk sukses. Ia terus dipuja dan dipuji Willy Loman hingga dirinya merasa bahwa ayahnya mampu mengatasi seluruh kekurangannya. Semua itu membuat Biff tak pernah siap untuk menghadapi seluruh kenyataan hidup.

Ketika ia akhirnya tidak lulus Matematika di ujian akhir sekolah menengah dan hendak meminta tolong ayahnya menemui pihak sekolah, ia malah memergoki sang ayah sedang berselingkuh dengan wanita lain. Dendam dan amarah ini terus dibawa Biff Loman, membuat ia dan ayahnya kian berjarak. Happy, saudara Willy adalah seseorang dengan ide besar, mewarisi kecenderungan sang ayah. Ia merasa dirinya bisa menjadi sukses tetapi dalam kenyataannya dirinya tak pernah diperhitungkan oleh Willy. Ia bercita-cita menjadi pedagang kaya raya tetapi impiannya tak pernah terwujud. Ia diam-diam menyimpan dendam sekaligus ambisi yang tak tertebak.

Konflik di masa lalu itu adalah peristiwa yang memicu konflik lain yang lebih besar di masa kini. Willy merasa dirinya hidup di tengah-tengah lingkungan yang tidak cocok. Seluruh rekan dan kerabatnya menjadi orang sukses. Bernard, teman sepermainan Biff, menjadi seorang pengacara sukses. Charley ayah Bernard berniat meminjamkan Willy uang, tetapi dengan angkuh ditolak Willy karena ia merasa begitu terhina oleh perlakuan itu.

Situasi terpuruk ini coba diperbaiki Willy dengan cara yang sungguh ironis, mencoba menghidupkan kembali mimpinya tentang Biff dan Happy yang sukses. Biff diminta pergi ke seorang konglomerat tempat ia pernah bekerja dahulu untuk meminjam uang sebagai modal awal usaha. Percobaan itu tidak pernah berhasil. Biff malahan sadar bahwa ia adalah seorang kleptomania ketika ia malah mengambil pulpen sang konglomerat yang ia temui. Biff menyadari dirinya bukan seseorang yang dilahirkan dengan garis tangan kesuksesan.

Konflik menanjak ketika Biff yang frustasi hendak jujur dengan seluruh khayalan yang terjadi tetapi hal itu ditentang oleh Linda yang sadar betul bahwa kejujuran itu akan membunuh Willy. Namun, pertengkaran tak terhindarkan. Kejujuran tak bisa dibendung. Singkat cerita, dalam keadaan frustasi dan putus asa, Willy Loman bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya di jalanan.

Death of a Salesman adalah sebuah tragedi. Mudah sekali menemukan unsur-unsur peripeteia, hamartia, dan hubris yang esensial dalam sebuah drama tragedi seturut konsep Aristoteles. Struktur kisah dalam tragedi Death of a Salesmen tidak disusun dalam polarisasi karakter-karakter yang baik dan jahat, protagonis dan antagonis secara hitam putih, tetapi pembalikan keadaan yang serba halus dan dilematis, yang memuat cinta ayah kepada anak yang diekspresikan secara berlebihan, cinta anak kepada ayah yang tidak bisa diungkapkan secara jujur, juga harapan-harapan palsu yang dirawat dan dibangun secara bersama-sama dalam keluarga. Polarisasi antara benar-salah, baik-buruk jadi tidak relevan.

Tragedi ini membentangkan sekaligus dilema-dilema antara kesadaran personal masing-masing tokoh dengan proyeksi alam bawah sadar mereka terhadap tokoh lain, sikap egois dan altruis, cinta dan benci, yang ideal dan yang riil, masa lalu dan masa kini. Permainan emosi, dinamika, dan gradasi dalam spektrum-spektrum peristiwa dan nilai ini, juga pembalikan kenyataan yang dialami tokoh Willy dan keluarganya menjadikan kisah Death of a Salesman tidak hanya menarik tetapi menantang untuk dimasuki oleh para penampil maupun penonton.

Dilema-dilema dalam Death of a Salesman tentu saja berpusat pada tarik-ulur pengalaman dan harapan antara Willy dan Biff, ayah-anak yang menggerakkan keseluruhan cerita. Ada semacam kekuatan magnet yang secara bersamaan menarik sekaligus menolak masing-masing subjek dalam relasi ayah-anak ini. Biff Loman sadar betul bahwa ia hidup dalam satu ilusi kegagahan yang telah lama diwarisi oleh mimpi-mimpi, harapan, dan sikap yang dikonstruksi ayahnya dalam seluruh perjalanan hidup keluarga mereka. Ia hendak merusak dan menghancurkan konstruksi itu. Namun dalam waktu yang bersamaan ia tahu betul, merusak konstruksi itu juga berarti merusak tidak hanya mimpi-mimpi, tetapi juga hidup ayahnya. Biff ingin menyelamatkan Willy dalam waktu yang bersamaan dengan keinginannya untuk membebaskan diri sendiri dari jerat ilusi yang diciptakan ayahnya.

Bagi Willy, Biff adalah justifikasi sekaligus impian yang terus-menerus dikejar. Willy hidup dalam bayangan akan kemegahan yang terproyeksikan dari pengalaman-pengalaman masa lalu dalam keluarganya, yang terpancar bagai senter dari generasi ke generasi. Biff baginya adalah portal menuju kemahsyuran itu. Sementara bagi Biff, ayahnya berdiri di antara diri dan hidupnya. Willy adalah masa lalu yang harus dilampaui, kepalsuan yang harus ditolak, tetapi juga utang yang harus selesai dibayar.

Seperti dalam dilema-dilema percintaan, kelihatannya akan lebih baik kalau toxic relationship ini diputuskan. Baik jika Biff pergi meninggalkan ayahnya bersama ibunya sendiri lalu memperbaiki diri dan hidupnya yang masih luas terbentang, sementara Willy dibiarkan tersadar dari lamunannya, menjadi lebih realistis dan melepas ilusi tentang kejayaan dan kepuasaan diri sendiri yang dilekatkan pada diri anaknya. Namun, sampai akhir kisah, jelas bahwa tak ada yang benar-benar beranjak pergi. Mereka terus terjerat dalam kompleksitas emosi, dan berkaca satu dengan yang lain, meski yang mereka dapatkan adalah gambaran-gambaran yang buram dan terpecah-pecah.

Sepenggal dialog antara Willy dan Biff Loman bisa menggambarkan konflik dan saling proyeksi antara ayah-anak, tanpa penyelesaian, karena keduanya sama-sama tidak siap untuk meninggalkan satu dengan yang lain.

BIFF: Shake hands, Dad.

WILLY: Not my hand.

BIFF: I was hoping not to go this way.

WILLY: Well, this is the way you’re going. Good-by. (Biff looks at him a moment, then turns sharply and goes to the stairs.)

WILLY (stops him with): May you rot in hell if you leave this house!

BIFF (turning): Exactly what is it that you want from me?

WILLY: I want you to know, on the train, in the mountains, in the valleys, wherever you go, that you cut down your life for spite!

BIFF: No, no.

WILLY: Spite, spite, is the word of your undoing! And when you’re down and out, remember what did it. When you’re rotting somewhere beside the railroad tracks, remember, and don’t you dare blame it on me?

BIFF: I’m not blaming it on you!

Sumber : Eka Putra Nggalu

Leave a Reply